Di dunia islam telah berkembang kalender islam. mengapa demikian?, karena agar manusia senantiasa mengerti tanggal dan tahun yang islam di kalender tersebut
idul-adha-dan-politik-keagamaan
Selasa, 30 Mei 2017
penafsiran QS Al Maidah ayat 51
secara literal, QS Al Maidah ayat 51 menegaskan untuk tidak memilih pemimpin nasrani. mengapa demikan karena indonesia perlu mempunyai pemimpin yang muslim agar bisa dicintai oleh masyarakatnya. seperti yang dilakukan di jakarta.
penafsiran-kontekstualis-atas-qs-al-maidah-51
penafsiran-kontekstualis-atas-qs-al-maidah-51
merawat kebinekaan
Kebinekaan adalah kosakata lama yang selalu menyejarah di setiap lipatan zaman. kita perlu merawat kebinekaan diindonesia agar suasana negara kita aman damai dan sejahtera. oleh sebab itu indonesia mempunyai beragam suku yang saling berinteraksi satu sama lain
Selasa, 02 Mei 2017
Merawat Marwah Kebinekaan
Merawat Marwah Kebinekaan
Kebinekaan adalah kosakata lama yang
selalu menyejarah di setiap lipatan zaman. Ia hadir sebagai pemandu
jalan kehidupan yang di dalamnya terselip banyak ekspresi dan cara
manusia memanifestasikan eksistensinya. Dalam konteks Nusantara,
kebinekaan diperkenalkan oleh Sutasoma untuk menganggit sekian rupa,
warna, dan corak yang terbangun dalam relasi sosial antar-individu dan
kelompok. Bhinneka Tunggal Ika adalah gagasan sublimatik Sutasoma yang
diresonansikan sebagai cara untuk mempertemukan banyak manusia yang
tersebar di berbagai kawasan di bumi pertiwi. Secara senada, apa yang
ditegaskan Sutasoma terlansir pula dalam berbagai kitab suci yang
menjadi basis ajaran setiap umat beragama, bahwa dalam keragaman
dibutuhkan semangat menjembatani (bridging) melalui perkenalan (
taaruf). Dalam proses perkenalan ini, tentu tiap-tiap pihak harus
memahami bagaimana sebuah ciri dan tipologi yang melekat pada diri
masing-masing orang. Tiap-tiap pihak juga harus mengerti bahwa setiap
orang lahir ke dunia sudah dilingkupi oleh perbedaan yang kaya rasa dan
selera. Oleh karena itu, setiap orang harus mengimprovisasi dirinya
dengan baik melalui cara adaptasi dan kontekstualisasi yang menempatkan
setiap pihak dalam semangat ke-kita-an ( nahnuwiyah). Dengan demikian,
ketika kebinekaan sudah ditakdirkan sebagai bangunan sosial yang
mengakomodasi aneka perbedaan, dan melalui perbedaan setiap orang perlu
menjalin titik temu dan titik lebur agar tercipta rasa saling
menghargai, lalu masih adakah di antara kita yang masih menuntut adanya
keseragaman cara pandang, cara berpikir, dan cara berperilaku dalam
mengekspresikan eksistensinya? Baik eksistensi dia sebagai pemeluk
keyakinan, umat beragama, suku, maupun ras, dan sebagainya.
Meretas kegagapan aksiologis
Dalam sebuah penelitian akademik yang
dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif
Hidayatullah di banyak daerah dikemukakan bahwa perihal kebinekaan yang
disadari oleh masyarakat Indonesia masih bersifat normatif dan bahkan
cen- derung eksklusif. Realitas ini menunjukkan bahwa sebenarnya
kebinekaan itu telah diketahui oleh masing-masing orang. Ketika
masing-masing orang ditanya tentang kebinekaan, sebagian besar dapat
menjawab bahwa kebinekaan merujuk pada posisi setiap individu yang
beragam. Secara kognitif, kebinekaan sudah menjadi bangunan pelafalan
yang tak dapat diragukan. Meski demikian, ada persoalan sangat mendasar
yang bisa dicermati dari hasil penelitian PPIM di atas. Bahwa dalam
praktiknya, kebinekaan tersebut tidak berpengaruh dalam perilaku setiap
orang ketika berinteraksi dengan banyak pihak. Ini artinya, apa yang
diketahui tentang arti sebuah kebinekaan berbanding terbalik ketika
berhadapan dengan kenyataan. Tidak sedikit dari masyarakat Indonesia
yang di balik layar berkoar-koar tentang kebinekaan, tapi ketika berada
di hadapan banyak orang justru mencemari praktik kebinekaan itu sendiri.
Banyak di antara masyarakat kita yang masih mengalami kegagapan
aksiologis ketika kebinekaan perlu dijadikan sebagai proses saling
mengenali dan memahami. Bahkan, tak terhitung pula, bagaimana tindakan
pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan hanya karena pihak lain tidak
sebangun keyakinannya dengan dirinya. Merujuk pada pemikiran Edwin N
Wilmsen dalam buku The Politics of Difference: Ethnic Premise in A World
of Power seakan-akan kebinekaan hanya menjadi politik perbedaan yang
menekankan sebuah kontestasi masing-masing individu dengan motif
menonjolkan dirinya sembari meminggirkan pihak lain. Belum lagi
ingar-bingar media sosial yang secara masif di antara kita menggelorakan
diksi kebinekaan. Namun, ketika berhadapan dengan yang liyan, setiap
orang nyaris terlibat dalam baku hantam psikologis dengan cara
menghujat, mencemooh, dan perang kata-kata fitnah ( hoax). Bahkan, untuk
sekadar menyatakan bahwa dirinya adalah pa- ling benar, di latar
kata-katanya diselipkan sekumpulan dalil sebagai basis legitimasinya. Di
ruang media sosial yang penuh dengan absurditas, kebinekaan hanya
dijadikan jargon eksistensial secara sepihak yang digambarkan sebagai
penegasan bahwa dirinya memang berbeda dengan pihak lain. Namun,
sayangnya perbedaan sering kali digunakan sebagai alasan untuk membangun
jarak ketika berhadapan dengan pihak yang tak satu iman, tak satu suku,
tak satu kelompok, dan tak satu paham dengan pandangan dan
pemikirannya. Padahal, sudah jelas kitab suci semua agama menegaskan
perlunya saling mengenali dalam perbedaan agar antara satu dan lain bisa
saling menghargai. Akan tetapi, mengapa ada pandangan lain yang masih
mengatasnamakan ajaran agama, bahwa ketika tak satu iman dengan pihak
lain lalu dikatakan kafir? Ketika tak satu kelompok lalu dikatakan
murtad? Ketika tak satu ideologi lalu dikatakan sebagai musuh? Di
sinilah problem kegagapan aksiologis selalu berlangsung dalam kehidupan
masyarakat. Menjadi wajar apabila asosiasi antropolog Indonesia
menyatakan bahwa kebinekaan di Indonesia kian terancam. Kebinekaan yang
menjadi warisan sejarah Nusantara yang terbukti mampu menyatukan seluruh
komponen bangsa Indonesia lamat-lamat mulai terkikis. Oleh karena itu,
agar marwah kebi- nekaan ini tetap terjaga dan terawat dengan baik,
diperlukan spirit pelibatan empatik ( empathic engagement) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Pelibatan empatik
Dalam kaitan ini, untuk menumbuhkan
spirit pelibatan empatik, kita harus memahami dan menyadari keberadaan
identitas kita sebagai warga dan bangsa Indonesia. Tidak sepatutnya
apabila yang dikedepankan adalah semangat parokialisme—semacam narasi
keumatan ataupun etnisitas—yang selalu membentangkan egosentrisme.
Sebab, merujuk pada pandangan Amin Malouf dalam buku In The Name of
Identity, sesungguhnya setiap individu adalah titik temu bagi banyak
pertalian yang berbeda. Lalu, yang menjadi tantangan kita dalam
menumbuhkan spirit pelibatan empatik dalam kebinekaan adalah bagaimana
kita mampu menghadirkan sosok individu yang pada dirinya bersemburat
aura kedamaian dan kesejukan sehingga pihak lain yang berada di sisinya
justru menjadi pelengkap dari segala kekurangan yang dimiliki. Dalam
spirit pelibatan empatik, merujuk pada pandangan Prof Alberto Gomes,
yang diperlukan adalah bagaimana kita mampu merasakan, mengimajinasikan,
dan mengidentifikasi suka dan duka orang lain. Dengan cara ini, kita
akan mampu menyadari dengan penuh hikmat dan bijaksana bahwa
sesungguhnya diri kita yang menjadi titik temu bagi banyak pertalian
harus menjadi modal sosial yang bisa merajut sekian perbedaan untuk
saling memahami dan mengapresiasi. Pada posisi ini, kita akan selalu
melakukan refleksi diri perihal bagaimana menempatkan diri orang lain ke
dalam diri kita, bagaimana merespons permasalahan sosial yang ada di
lingkungan kita, dan sekaligus bagaimana menempatkan diri kita sebagai
problem solver yang menenteramkan bagi semua pihak. Apabila upaya ini
bisa kita lakukan dengan baik, maka marwah kebinekaan yang sudah
diwariskan oleh Sutasoma dan nilai keluhurannya ditegaskan dalam banyak
kitab suci akan bisa terawat dan terjaga dalam kehidupan kita sepanjang
masa.
sumber:
Langganan:
Komentar (Atom)